Rabu, 16 Februari 2011

3. Memahami Keimanan


A.   PENGERTIAN AQIDAH


Secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada- ya’qudu-‘aqdan-‘aqidatan. Aqdan berarti simpul ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah berbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara kata ‘aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.

Secara terminologis terdapat beberapa definisi antar lain:
  1. Hasan Al-Bana. ‘”Aqa’id – bentuk jamak dari ‘aqidah – adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati (mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”
  2. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy. “Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.


ISTILAH LAIN AQIDAH. Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir semakna dengan istilah aqidah, yaitu:

1.    Iman. Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah dan ada yang membedakannya. Bila dibedakan, maka ada “iman dalam” yang bermakna keyakinan atau aqidah dan ada “iman luar” yang bermakna pengakuan  dengan lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Apabila istilah iman berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah iman yang mencakup dimensi hati, lisan dan amal, seperti yang dinyatakan Allah swt. dalam Al-Mukminun: 1-11. Namun bila istilah iman dirangkaikan dengan amal shaleh seperti dalam Al-Ashr: 3, maka iman berarti I’tikad atau aqidah.
2.    Tauhid. Tauhid artinya mengesakan Allah. Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh karena itu aqidah dan iman diidentikkan dengan istilah tauhid.
3.    Ushuluddin. Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iaman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.
4.    Ilmu Kalam. Kalam artinya berbicara atau pembicaraan . Dinamakan ilmu kalam karena banyak  dan luasnya dialog dan perdebatan terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal.
5.    Fikih Akbar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fid din (belajar ilmu agama) yang diperintahkan  Allah dalam surat At-Taubah:122, bukan hanya masalah fikih trtentu, dan lebih utama masalah aqidah. Untuk  membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga  menjadi fikih akbar.

B.   RUANG LINGKUP PEMBAHASAN AQIDAH


Meminjam istilah Hasan al-Bana maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1.    Ilahiyat. Pembahasan  yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dll.
2.    Nubuwat. Pembahasan yang berhubungan dengn Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-kitab Allah, mu’jizat, karamat dll.
3.    Ruhaniyat. Pembahasan yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis , Syaitan dll.
4.    Sam’iyat. Pembahasan segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli: Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam batzah, akhirat, azab kubur, tanda-0tanda kiamat, surga , neraka dll.

Disamping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman seperti yang biasa kita kenal:
1.    Iman kepada Allah.
2.    Iman kepada Malaikat termasuk pembahasan jin, iblis, syaitan dll.
3.    Iman kepada Kitab-kitab.
4.    Iman kepada Nabi dan Rasul.
5.    Iman kepada Hari akhir.
6.    Iman kepada Taqdir Allah.


C.   TINGKATAN AQIDAH


Dilihat dari kekuatan aqidah ia dapat dibagi kepada empat tingkatan:
1.    Tingkat Ragu (taklid):
·         baru pada tingkat ikut-ikutan
·         belum punya pendirian
2.    Tingkat Ilmul Yaqin:
·         sudah dapat menunjukkan bukti: alasan atau dalilnya
·         belum menemukan hubungan kuat objek dengan dalil
·         tingkat ini masih dapat terkecoh sanggahan rasional
3.    Tingkat Ainul Yaqin:
·         meyakini secara rasional, ilmiah dan mendalam
·         menemukan hubungan kuat objek dengan dalil
·         tidak akan terkecoh sanggahan rasional
4.    Tingkat Haqqul Yaqin:
·         meyakini secara rasional, ilmiah dan mendalam
·         menemukan hubungan kuat objek dengan dalil
·         tidak akan terkecoh sanggahan rasional
·         menemukan dan merasakan melalui pengalaman pengamalan
·         berani berbeda dan siap mati

D.   FUNGSI AQIDAH


Aqidah adalah dasar, pondasi untuk mendirikan bangunan. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, meiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalah dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima atau diberi nilai oleh Allah kalau tidak dilandasi  aqidah yang benar.


E.  DALIL TENTANG WUJUD ALLAH

WUJUD ALLAH. Wujud  (adanya) Allah adalah sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran  itu tidak lagi perlu pembuktian. Namun demikian untuk membuktikan wujud Nya dapat dikemukakan beberapa dalil, antara lain :

1.    Dalil Fitrah. Allah menciptakan manusia dengan fitrah ketuhanan. Apabila menusia menghadapi sesuatu kejadian yang luar biasa, dan dia sudah kehilangan segala daya untuk menghadapinya, bahkan sudah  putus asa, barulah secara spontan fitrahnya tersebut kembali muncul, mencari (bantuan) Tuhan.
2.    Dalil Akal. Dalil akal adalah dalil dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya sendiri, alam semesta dan lain-lain seseorang bisa membuktikan tentang adanya Allah. Upaya membuktikan adanya  Allah lewat perenungan  terhadapa alam dengan segala isisnya  dapat menggunakan beberapa teori hukum (qanun), antara lain:
a.        Qonun al-Illah. Illah artinya sebab. Segala sesuatu ada sebabnya. Sesuatu yang    ada tentu ada sebabnya. Siapakan yang mengadakan alam ini ?
b.        Qunun al-Huduts. Huduts artinya baru. Alam semesta seluruhnya adalah sesuatu yang huduts (baru, ada awalnya) bukan sesuatu yang qadim (tidak berawal). Kalau huduts, tentu ada yang mengadakannya. Dan yang mengadakan itu haruslkah yang bersifat qadim.
c.         Qanun an-Nidzam. Nidzam artinya teratur. Alam semesta dengan segala isinya adalah sesuatu yang sangat teratur. Sesuatu yang teratur tentu ada yang mengaturnya, mustahil menurut akal semuanya itu teratur dengan sendirinya secara kebetulan..
3.    Dalil Naqli. Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Tuhan  dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk membimbing mengenal Tuhan yang sebenarnya. (Allah) dengan segala nama dan sifat Nya. Sebab fitrah  dan akal  tidak bisa menjelaskan Tuhan yang sebenarnya itu.


F. TAUHIDULLAH

Esensi iman kepada Allah adalah Tauhid yang mengesakan Nya, baik dalam zat, sifat-sifat maupun segala perbuatan Nya.
1.    Esa dalam zat Nya, artinya Allah tidak tersusun dari berbagai unsur.
2.    Esa dalam sifat-sifat Nya artinya hanya  Allah yang berhak memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
3.    Esa dalam perbuatan Nya artinya Allah berbuat sgala sesuatu tanpa ada yang membantunya.

Berdasarkan tahapannya tauhid dapat dibagi kepada:
1.    Tauhid Rububiyah, artinya mengimani bahwa Allah sebagai satu-satunya Tuhan (Rabbun).
2.    Tauhid Mulkiyah, artinya mengimani bahwa Allah sebagai satu-satunya  penguasa , Raja (Malik).
3.    Tauhid Ilahiyah, artinya mengimani Allah  bahwa Allah sebagai satu-satunya  Ilah (Ma’bud = yang disembah).

Antara ketiga dimensi Tauhid di atas dapat berlaku dua teori (dalil):
1.    Dalil At-Talazum. Talazum artinya satu keaharusan (mestinya). Maksudnya, setiap orang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya meyakini Tauhid Mulkiyah dan orang meyakini Tauhid Mulkiyah semestinya meyakini Tauhid Ilahiyah. Dengan kata lain Tauhid Mulkiyah merupakan konsekuensi logis dari Tauhid Rububiyah dan Tauhid  Ilahiyah merupakan konsekuensi logis dari Tauhid Mulkiyah.
2.    Dalil At-Tadhamun. Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai kepada Tauhid Ilahiyah tentunya sudah melalui dua tauhid sebelumnya. Kenapa dia beribadah kepada Allah ? karena Allah Rajanya. Kenapa Allah Rajnaya ? karena Allah  adalah Rabb nya (Tuhannya)


G.       MAKNA SYAHADAH DAN KONSEKUENSINYA

Makna Syahadat. Syahadat adalah iqrar yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah. Di dalamnya ada dua iqrar yang dikenal dengan syahadatain (syahadat tauhid dan syahadat rasul). Iqrar syahadat tauhid (la ilaha illallah) tak akan dapat diwujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah. Oleh karena itu harus diikuri oleh iqrar Muhammad rasulullah.

Kata asyhadu secara etimologis berakar dari kata syahada yang mempunyai tiga pengertian: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan half (sumpah). Antara tiga pengertian di atas terdapat relevansi yang kuat: Seseorang akan bersumpah bila ia memberi kesaksian, dan dia akan memberi kesaksian bila dia menyaksikan (memahami). Inti syahadat pertama adalah  beribadah hanya kepada Allah SWT semata, dan inti dari syahadat kedua adalah menjadikan Rasulullah sebagai titik pusat keteladanan (uswah hasanah) dalam membangun hubungan vertikal (hablum minallah) maupun hubungan horizontal (hubungan sesama manusia).

Konsekuensinya. Seseorang yang mengiqrarkan dua kalimat syahadat akan menjadi muslim dan sekaligus akan memberikan cinta yang pertama dan utamanya kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah dan jihad fi sabilillah. Dia harus menempatkan cinta kepada anak-anak, istri, saudara, anak keturunan, harta, pangkat, dll (yang bolah dicintainya) di bawah cinta yang utama. Perhatikan al-Qur’an surat 2: 165 dan surat 9: 24).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar